Papua diambang perpecahan
PAPUA, wilayah paling Timur Indonesia tak pernah reda dari gejolak. Kapolsek disalah satu desa di Kabupaten Puncak AKP Dominggus Octavianus Awes menjadi korban konflik di Papua. Banyak pihak khawatir situasi terus memanas dan berdampak makin buruk bagi rakyat Papua bila pemerintah tak segera mengubah cara pendekatan yang selama ini digunakan untuk menyelesaikan konflik, dari pendekatan militeristik ke cara persuasif dengan mengutamakan dialog.
Sesungguhnya konflik yang terus membara di Bumi Cendrawasih sejak 1963 merupakan konsekuensi dari kekeliruan negara merancang skenario perubahan dan pembangunan yang cenderung menafikan kepentingan dan eksistensi masyarakat setempat. Bila dicermati, konflik Papua setidaknya menampakkan tiga dimensi.
Pertama, dari perspektif politis konflik itu tidak lepas dari sejarah integrasi wilayah itu menjadi bagian RI. Harus diakui bahwa proses tersebut menyisakan ketidakpuasan pada sebagian masyarakat Papua yang tetap menginginkan untuk merdeka dan berdiri sendiri. Keinginan sebagian rakyat Papua untuk memisahkan diri dari NKRI itu disikapi pemerintah lewat pendekatan politik melalui UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Wilayah dan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua. Ketidaksiapan menyikapi kebijakan baru itu berdampak pada munculnya konflik horizontal antarkelompok masyarakat, baik antara penduduk asli dan pendatang maupun antara masyarakat adat dan pengusaha. Situasi ini juga menyebabkan pengabaian pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Kedua, dari perspektif ekonomi, kisruh keamanan di Papua selama ini tidak lepas dari fakta terjadinya perebutan atas penguasaan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan alam menjadi daya tarik yang kuat bagi investor (asing dan lokal), ataupun pengusaha. Perebutan penguasaan sumber daya alam ini berdampak pada terjadinya pelanggaran HAM di Papua.
Ketiga, dari sisi budaya, harus diakui kenyataan subjektif masyarakat Papua memiliki sekitar 250 suku/ kelompok dengan bahasa berbeda, tersebar di pantai, perbukitan, dan gunung. Mereka sangat rentan terhadap perubahan dari luar dan bersifat sepihak. Dari fakta itu maka sesungguhnya kekerasan yang terjadi di Papua tidak dapat lagi dijustifikasi sebagai usaha untuk melepaskan diri dari NKRI dan kemudian diidentifikasi sebagai gerakan separatis.
Kesadaran penuh bahwa Papua adalah bagian dari NKRI mestinya melahirkan kesungguhan dan kepedulian semua pihak. Komitmen bersama perlu terus dibangun untuk mencari solusi damai dan komprehensif. Di samping itu, pemerintah pusat harus lebih serius untuk menyelesaikan persoalan ketidakadilan di Papua melalui pendekatan pembangunan.
Penyelesaian masalah Papua tidak bisa lepas dari kesungguhan pemerintah untuk menegakkan HAM dengan menyelesaikan secara adil kasus pelanggaran HAM. Rekonsiliasi serta integrasi yang dibangun atas dasar penghormatan prinsip kemanusiaan juga dapat menjadi salah satu pilihan cara untuk memperbaiki kembali relasi dan membangun rasa percaya di antara para pihak yang bertikai.
0 komentar:
Posting Komentar